SAYA sudah berkali-kali menyekolahkan anak di pesantren. Bagi saya penting menyekolahkan anak di pesantren. Selain untuk mengajarkan kemandirian, tapi juga untuk meletakkan karakter dasar agama kepada anak.
Saya percaya, seorang anak yang dulunya pernah nyantri di pesantren atau sekolah Islam lainnya suatu ketika akan kembali balik ke Islam, walau di masa remajanya pernah nakal.
Itulah yang saya alami, yang mungkin juga dialami oleh mereka yang pernah bandel tapi sekarang berubah lebih baik karena dulu pernah nyantri atau sekolah agama.
Menyekolahkan anak di pesantren itu persis seperti orang jatuh cinta yang LDR (Long Distance Relationship). Berdebar-debar rasanya. Rindu tapi sadar betapa pentingnya menahan hal tersebut demi mencapai cita-cita mulia dari anak-anak kita.
Apalagi kalau anaknya sedikit. Saya aja yang anaknya delapan merasakan hal tersebut. Awalnya sih bisa nahan….tapi lama-lama baper juga. Apalagi kalau sudah masuk ke grup WA orang tua wali murid yang sudah “ribut” dua bulan sebelum anaknya masuk pesantren.
Bermacam pertanyaan diajukan oleh orang tua wali murid tentang persiapan apa saja yang harus dibawa anaknya. Mereka begitu kuatir anaknya tidak siap dengan logistik selama di pesantren, terutama bagi ortu yang baru pertama kali menitipkan anaknya ke pesantren.
Masya Allah….begitulah cinta orang tua kepada anaknya. Mereka begitu kuatir dan cepat kangen dengan anaknya. Baru ditinggal kurang seminggu aja udah kangen.
Wahai anak-anakku, para santri dimana pun engkau berada….begitulah “perilaku” ibumu dan ayahmu. Tertawa, menangis, tersenyum, teriak-teriak ketika melihat kamu di foto dalam kegiatan pesantren. “Perilaku yang kekanak-kanakan” disebabkan cinta kepadamu.
Kami, orang tuamu, ingin tetap memeluk engkau, ingin tetap bercanda denganmu, seperti dulu ketika engkau kecil. Walau sebagian engkau setelah dewasa menolak halus jika dipeluk oleh ayah dan ibumu, yang sebenarnya membuat kami sedih juga.
Bagi kami, para orang tua, engkau tetaplah anak kecil selamanya, seperti dulu kami memandangmu di waktu kecil. Titipan Allah yang manis untuk kami, walau bagaimanapun perilakumu.
Walau engkau beranjak dewasa kami tetap ingin “kekanak-kanakan” di depanmu. Itulah sebabnya kami merajuk minta ditemani di waktu tua kami. Itulah sebabnya kami berbicara lepas kepadamu ketika menegurmu. Apa adanya kami ngomong, yang mungkin menyakitimu (maaf ya nak…).
Jika demikian sikap kami kepadamu wahai anak-anakku…..tegakah engkau menyakiti kami karena kami “terperangkap” cinta kepadamu?
* Dalam rangka Hari Santri Nasional 2021. Kami bangga anak-anak kami menjadi santri Indonesia.
By. Satria hadi lubis